Pengertian,
Tujuan dan Landasan Hukum Perencanaan Pembangunan Desa
1. Mengapa Perlu Perencanaan Desa?
Pasal 79 UU No6/2014 tentang Desa menegaskan bahwa Pemerintah Desa harus menyusun perencanaan pembangunan desa sesuai kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Kemudian pasal 115 PP 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa menyatakan Perencanaan pembangunan Desa menjadi pedoman bagi Pemerintah Desa dalam menyusun rancangan RPJM Desa, RKP Desa, dan daftar usulan RKP Desa.
Pentingnya desa memiliki perencanaan karena desa harus mengatur dan mengurus desa-nya sesuai dengan kewenangannya sebagai desa sebagai self governing community. Artinya, perencanaan desa akan semakin memperkuat hak dan kewenangan desa sekaligus mengoptimalkan sumber-sumber kekayaan desa (aset desa) sebagai kekuatan utama membangun desa. Desa tidak lagi selalu “menunggu perintah atasan” dalam menyelenggarakan urusan dirinya sendiri, ada keberanian dan kreativitas serta inovasi yang terumuskan dalam dokumen perencanaan yang legal di desa.
Dengan membangun mekanisme perencanaan desa yang didasarkan pada aspirasi dan partisipasi masyarakat yang ditetapkan dengan peraturan desa, mencerminkan keberpihakan negara terhadap hak-hak desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya pemenuhan hak-hak dasar masyarakat melalui kebijakan perencanaan desa bukan sekedar “pemanis kata” tetapi benar- benar menjadi kenyataan.
Potret suram masa lalu, yang didominasi oleh kebijakan perencanaan dan penganggaran top down dan sentralistik, telah terbukti menimbulkan sikap apriori dan apatis masyarakat terhadap proses penyelenggaraan Musyawarah perencanaan pembangunan,biasa disingkat Musrenbang yang berjenjang mulai dari tingkat desa sampai kabupaten. Bahkan,menjurus pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ini terjadi karena forum Musyawarah perencanaan pembangunan desa dan out put dokumen yang dihasilkan hanya diposisikan sebagai input “pelengkap penderita” tanpa pernah diakomodasi lebih jauh oleh pemerintah supra-desa. Perencanaan desa yang sudah disepakati dalam bentuk Perdes ataupun Keputusan Kepala Desa seakan-akan tidak memiliki arti apapun. Musrenbang di masa lalu hanya sekedar agenda “seremonial dan rutinitas” untuk menghabiskan anggaran. Partisipasi masyarakat yang ditandai dengan tingkat kehadiran masyarakat bersifat “formalistik” belaka. Partisipasi yang seharusnya menumbuhkan saling sadar, kritis, berubah menjadi “mobilisasi” sebatas memenuhi tuntutan formalitas aturan dan citra “good governance”. Kondisi demikian tentu saja akanmempersulit pencapaian cita-cita besar membangun kemandirian desa. Disamping itu, setiap program pemberdayaan masyarakat (seperti PNPM, Pamsimas) juga memiliki siklus perencanaan sendiri yang tidak nyambung dengan perencanaan pada musyawarah perencanaan pembangunan regular. Namun demikian, pengalaman ini merupakan proses perencanaan masyarakat yang lebih komprehensif, banyak pembelajaran untuk memperbaiki sistem perencanaan selanjutnya.
Guna membangkitkan semangat partisipasi dan kesadaran kritis masyarakat, diperlukan keberanian dan inovasi daerah untuk menyusun peraturan yang mampu melindungi hak-hak masyarakat desa melalui mekanisme perencanaan dan penganggaran yang sinergis dan terintegrasi mulai dari desa sampai kabupaten. Menjadi penting kedepan, bagaimana menjadikan satu dokumen perencanaan untuk semua dan satu dokumen anggaran desa untuk semua. Perencanaan desa akan dipercaya oleh masyarakat ketika ada kepastian bahwa program dan kegiatan termaktub/ terakomodasi dalam kebijakan penganggaran, sehingga konsistensi antara perencanaan dan penganggaran dapat lebih terjamin. Hal tersebut menjadi landasan bagaimana UU Desa diimplementasikan kedepan.
Arie Sujito (Kompas 3 Januari 2013 – Pertaruhan RUU Desa), menuliskan tentang hal penting menyangkut UU Desa yaitu; 1) kejelasan kewenangan desa sebagai wujud pengakuan negara atas desa. UU Desa mengembalikan kewenangan desa secara lebih jelas. Pembangunan berorientasi pemberdyaaan, menempatkan masyarakat desa sebagai subyek. 2) Perencanaan dan penganggaran pembangunan serta redistribusi sumberdaya ke desa. Problem kemiskinan, ketimbangan social dan berbagai ketidakadilan sesungguhnya bersumber pada pola pembangunan yang tidak bertumpu pada partisipasi desa. Pembangunan selama ini hanya menempatkan desa sebagai lokasi dan menjadi model pembangunan di desa. Dalam UU Desa jelas akan mengimplementasikan paradigm “desa membangun” dimana substansinya bahwa desa sebagai subyek.
2. Pengertian dan Prinsip
Menurut UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia (Pasal 1 ayat 1). Sedangkan perencanaan pembangunan adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan guna pemanfaatan dan pengalokasian sumberdaya yang ada dalam jangka waktu tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sesuai ketentuan umum pasal 1, Permendagri 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa, menyatakanperencanaan pembangunan desa adalah proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah desa dengan melibatkan BPD dan unsur masyarakat secara partisipatif guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan desa.
Perencanaan pembangunan desa sebaiknya memperhatikan hakekat dan sifat desa yang tentu berbeda dengan otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan perwujudan asas desentralisasi. Sedangkan kemandirian desa berangkat dari asas rekognisi (pengakuan dan penghormatan) serta asas subsidiaritas (lokalisasi penggunaan kewenangan dan pengambilan keputusan atau bisa disebut sebagai penerapan kewenangan berskala lokal desa). Dengan kalimat lain, hakikat dan sifat kemandirian desa adalah kemandirian dari dalam dan kemandirian dari bawah. Sebagai contoh, selama ini desa bisa mengembangkan sumber daya lokal secara mandiri (misalnya mendirikan pasar desa, lumbung desa, pengadaan air bersih, dll.) tanpa harus dikontrol oleh regulasi dari atas.
Perencanaan pada dasarnya merupakan irisan antara pemerintahan dan pembangunan desa. Pemerintahan mencakup kewenangan, kelembagaan, perencanaan, dan penganggaran/keuangan.Perencanaan desa harus berangkat dari kewenangan desa. Perencanaan desa bukan sekadar membuat usulan yang disampaikan kepada pemerintah daerah, yang lebih penting perencanaan desa adalah keputusan politik yang diambil secara bersama oleh pemerintah desa dan masyarakat desa.
Tentang kewenangan desa yang menjadi dasar perencanaan desa kemudian dipertegas dalam pasal 34 PP 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa yaitu;
1. Kewenangan desa berdasarkan hak asal usul paling sedikit terdiri atas; sistem organisasi masyarakat adat; pembinaan kelembagaan masyarakat; pembinaan lembaga dan hukum adat; pengelolaan tanah kas Desa; dan pengembangan peran masyarakat Desa.
2. Kewenangan lokal berskala desa paling sedikit terdiri atas kewenangan: pengelolaan tambatan perahu; pengelolaan pasar Desa; pengelolaan tempat pemandian umum; pengelolaan jaringan irigasi; pengelolaan lingkungan permukiman masyarakat Desa; pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu; pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar; pengelolaan perpustakaan Desa dan taman bacaan; pengelolaan embung Desa; pengelolaan air minum berskala Desa; dan pembuatan jalan Desa antarpermukiman ke wilayah pertanian.
Kewenangan tersebut mengindikasikan bahwa rencana pembangunan desa tidak hanya bersifat fisik dan infrastruktur seperti yang terjadi selama ini, tetapi menyangkut juga pelayanan publik, ekonomi dan pengembangan kelembagaan serta pemberdayaan masyarakat dan desa.
Membuat perencanaan program dan kegiatan bukanlah mengumpulkan daftar keinginan masyarakat desa.Bukan pula sekadar membuat daftar usulan tanpa alasan yang logis mengapa kegiatan tersebut penting menjadi agenda program pembangunan desa. Karenanya penting bagi para perencana kebijakan pembangunan desa memperhatikan prinsip-prinsip perencanaan desa sebagai berikut;
1) Belajar dari pengalaman dan menghargai perbedaan, yaitu bagaimana perencanaan desa dikembangkan dengan memetik pembelajaran terutama dari keberhasilan yang diraih. Dalam kehidupan antar masyarakat di desa tentu ada perbedaan sehingga penting untuk mengelola perbedaanmenjadi kekuatan yang saling mengisi.
2) Berorientasi pada tujuan praktis dan strategis, yaitu rencana yang disusun harus dapat memberikan keuntungan dan manfaat langsung secara nyata bagi masyarakat. Rencana pembangunan desa juga harus membangun sistem yang mendukung perubahan sikap dan perilaku sebagai rangkaian perubahan sosial.
3) Keberlanjutan, yaitu proses perencanaan harus mampu mendorong keberdayaan masyarakat. Perencanaan juga harus mampu mendorong keberlanjutan ketersediaan sumber daya lainnya.
4) Penggalianinformasidesa dengan sumber utama dari masyarakat desa, yaitu bagaimana rencana pembangunan disusun mengacu pada hasil pemetaan apresiatif desa.
5) Partisipatif dan demokratis, yaitu pelibatan masyarakat dari berbagai unsur di desa termasuk perempuan, kaum miskin, kaum muda, dan kelompok marjinal lainnya. Harus dipastikan agar mereka juga ikut serta dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan tidak semata karena suara terbanyak namun juga dengan analisis yang baik.
6) Pemberdayaan dan kaderisasi, yaitu proses perencanaan harus menjamin upaya-upaya menguat-kan dan memberdayakan masyarakatterutama perempuan, kaum miskin, kaum muda, dan kelompok marjinal lainnya
7) Berbasis kekuatan, yaitu landasan utama penyusunan rencana pembangunan desa adalah kekuatan yang dimiliki di desa. Dukungan pihak luar hanyalah stimulan untuk mendukung percepatannya.
8) Keswadayaan, yaitu proses perencanaan harus mampu membangkitkan, menggerakkan, dan mengembangkan keswadayaan masyarakat.
9) Keterbukaan dan pertanggungjawaban, yaitu proses perencanaan terbuka untuk diikuti oleh berbagai unsur masyarakat desa dan hasilnya dapat diketahui oleh masyarakat. Hal ini mendorong terbangunnya kepercayaan di semua tingkatan sehingga bisa dipertanggungjawabkan bersama.
3. Kebijakan Pemerintah dan Landasan Hukum (Document and Regulation)
Sebelum Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa lahir, desa telah mengenal sistem perencanaan pembangunan partisipatif. Acuan atau landasan hukumnya waktu itu adalah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kewajiban desa membuat perencanaan pembangunan dipertegas melalui PP No.72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa sebagai regulasi teknis turunan dari UU No.32 Tahun 2004 tersebut.
Secara khusus, pengaturan pelaksanaan musrenbang diatur dalam UU No.25 tahun 2004 tentang SPPN. Aturan teknisnya kemudian diatur di Permendagri No.66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Desa. Permendagri ini memuat petunjuk teknis penyelenggaraan Musrenbang untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) 5 tahunan dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa) tahunan.
Pada praktiknya, meskipun desa telah diwajibkan membuat perencanaan, usulan program yang digagas masyarakat dan pemerintah desa jarang sekali terakomodir dalam kebijakan perencanaan pembangunan tingkat daerah. Tidak sedikit pemerintah desa yang mengeluh karena daftar usulan program prioritas dalam RKP Desa pada akhirnya terbengkelai menjadi daftar usulan saja. Meski telah berkali-kali diperjuangkan melalui forum musrenbang kecamatan, forum SKPD dan musrenbangkabupaten, usulan program prioritas dari desa itu pun harus kandas karena kuatnya kepentingan pihak di luar desa dalam mempengaruhi kebijakan pembangunan daerah. Pada akhirnya, kue APBD lebih banyak terserap untuk membiayai program-program daerah. Kalau toh ada proyek pembangunan di desa, desa hanya menjadi lokus proyek saja, bukan pelaksana apalagi penanggung jawab proyek.
Kelahiran UU No.6 Tahun 2014 berupaya menyempurnakan sistem perencanaan desa partisipatif sebelumnya. Berbeda dengan sistem perencanaan desa di bawah rezim UU No. 32 tahun 2004, UU No. 6 Tahun 2014 memberikan kewenangan kepada desa untuk mengurus rumah tangganya sendiri membuat perencanaan pembangunan sesuai dengan kewenanganya. Di sini, minimal ada dua kewenangan yaitu kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa. Selain itu, dengan perubahan masa kepemimpinan kepala desa dari lima tahun menjadi enam tahun, periode perencanaan pembangunan pun berubah dari lima tahunan menjadi enam tahunan.
Bahkan untuk menangkal praktik pasar proyek pembangunan di desa, UU No.6 tahun 2014 pada pasal 79 ayat (4) menegaskan bahwa Peraturan Desa tentang RPJM Desa dan RKP Desa sebagai produk (output) perencanaan menjadi satu-satunya dokumen perencanaan di desa. Pihak lain di luar pemerintah desa yang hendak menawarkan kerjasama ataupun memberikan bantuan program pembangunan harus mempedomani kedua produk perencanaan desa tersebut. Pasal tersebut menyimpan harapan bahwa di masa mendatang, desa tidak lagi menjadi obyek atau hanya menjadi lokasi proyek dari atas tapi menjadi subyek dan arena bagi orang desa menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan dan kemasyarakatan. Dengan kata lain, desa membangun bukan membangun desa.
Pada pasal 78 ayat (92) UU No.6 Tahun 2014 disebutkan bahwa pembangunan desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Pada tahap perencanaan, pasal 79 kemudian menjelaskan “pemerintah desa menyusun perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota”. Lalu perencanaan apa saja yang termasuk dalam perencanaan pembangunan desa?.Pada pasal 79 ayat (2) kemudian menyebutkan ada dua yaitu;
a. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) untuk jangka waktu 6 tahun;
b. Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau yang disebut Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa), merupakan penjabaran dari RPJM Desa untuk jangka waktu satu tahun.
RPJM Desa pada hakikatnya adalah rencana enam tahunan yang memuatvisi danmisi kepala desa terpilih yang dituangkan menjadi visi misi desa, sehingga warga dapat mengetahui arah kebijakan pembangunan desa, arah kebijakan keuangan desa, dan kebijakan umum desa. Sementara RKP Desa merupakan penjabaran dari RPJM Desa untuk jangka waktu satu tahun dan dibedakan antara 2 jenis kegiatan perencanaan; 1). Kegiatan yang akan didanai APB Desa, terutama berdasarkan kewenangan lokal skala desadan 2). Kegiatan yang tidak mampu dibiayai melalui APBDesa dan bukan merupakan kewenangan lokal skala desa seperti kegiatan yang mencakup kawasan perdesaan yang perlu diusulkan melalui mekanisme Musrenbang Kecamatan hingga kabupaten.
RKP Desa memuat informasi prioritas program, kegiatan, serta kebutuhan pembangunan desa yang didanai oleh APBDesa, swadaya masyarakat desa, dan/atau APBDKabupaten/kota. Dengan demikian RPJM Desa dan RKP Desa merupakan pra syarat dan pedoman bagi pemerintah dalam penyusunan APB Desa.
Home
»
»Unlabelled
» KONSEP DAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA
Selasa, 01 Mei 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar